Archive for January 24, 2009

Menghias Hati dengan Menangis

Menghias Hati dengan Menangis

Oleh: Muhammad Nuh

“Andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Indahnya hidup dengan celupan iman. Saat itulah terasa bahwa dunia bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih besar dari yang ada di depan mata. Semuanya teramat kecil dibanding dengan balasan dan siksa Allah swt.

Menyadari bahwa dosa diri tak akan terpikul di pundak orang lain

Siapa pun kita, jangan pernah berpikir bahwa dosa-dosa yang telah dilakukan akan terpikul di pundak orang lain. Siapa pun. Pemimpinkah, tokoh yang punya banyak pengikutkah, orang kayakah. Semua kebaikan dan keburukan akan kembali ke pelakunya.

Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 164. “…Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”

Lalu, pernahkah kita menghitung-hitung dosa yang telah kita lakukan. Seberapa banyak dan besar dosa-dosa itu. Jangan-jangan, hitungannya tak beda dengan jumlah nikmat Allah yang kita terima. Atau bahkan, jauh lebih banyak lagi.

Masihkah kita merasa aman dengan mutu diri seperti itu. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun mampu menjamin bahwa esok kita belum berpisah dengan dunia. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun bisa yakin bahwa esok ia masih bisa beramal. Belumkah tersadar kalau kelak masing-masing kita sibuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan.

Menyadari bahwa diri teramat hina di hadapan Yang Maha Agung

Di antara keindahan iman adalah anugerah pemahaman bahwa kita begitu hina di hadapan Allah swt. Saat itulah, seorang hamba menemukan jati diri yang sebenarnya. Ia datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa. Dan akan kembali dengan selembar kain putih. Itu pun karena jasa baik orang lain.

Apa yang kita dapatkan pun tak lebih dari anugerah Allah yang tersalur lewat lingkungan. Kita pandai karena orang tua menyekolah kita. Seperi itulah sunnatullah yang menjadi kelaziman bagi setiap orang tua. Kekayaan yang kita peroleh bisa berasal dari warisan orang tua atau karena berkah lingkungan yang lagi-lagi Allah titipkan buat kita. Kita begitu faqir di hadapan Allah swt.

Seperti itulah Allah nyatakan dalam surah Faathir ayat 15 sampai 17, “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.”

Menyadari bahwa surga tak akan termasuki hanya dengan amal yang sedikit

Mungkin, pernah terangan-angan dalam benak kita bahwa sudah menjadi kemestian kalau Allah swt. akan memasukkan kita kedalam surga. Pikiran itu mengalir lantaran merasa diri telah begitu banyak beramal. Siang malam, tak henti-hentinya kita menunaikan ibadah. “Pasti, pasti saya akan masuk surga,” begitulah keyakinan diri itu muncul karena melihat amal diri sudah lebih dari cukup.

Namun, ketika perbandingan nilai dilayangkan jauh ke generasi sahabat Rasul, kita akan melihat pemandangan lain. Bahwa, para generasi sekaliber sahabat pun tidak pernah aman kalau mereka pasti masuk surga. Dan seperti itulah dasar pijakan mereka ketika ada order-order baru yang diperintahkan Rasulullah.

Begitulah ketika turun perintah hijrah. Mereka menatap segala bayang-bayang suram soal sanak keluarga yang ditinggal, harta yang pasti akan disita, dengan satu harapan: Allah pasti akan memberikan balasan yang terbaik. Dan itu adalah pilihan yang tak boleh disia-siakan. Begitu pun ketika secara tidak disengaja, Allah mempertemukan mereka dengan pasukan yang tiga kali lebih banyak dalam daerah yang bernama Badar. Dan taruhan saat itu bukan hal sepele: nyawa. Lagi-lagi, semua itu mereka tempuh demi menyongsong investasi besar, meraih surga.

Begitulah Allah menggambarkan mereka dalam surah Albaqarah ayat 214. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

Menyadari bahwa azab Allah teramat pedih

Apa yang bisa kita bayangkan ketika suatu ketika semua manusia berkumpul dalam tempat luas yang tak seorang pun punya hak istimewa kecuali dengan izin Allah. Jangankan hak istimewa, pakaian pun tak ada. Yang jelas dalam benak manusia saat itu cuma pada dua pilihan: surga atau neraka. Di dua tempat itulah pilihan akhir nasib seorang anak manusia.

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. 80: 34-37)

Mulailah bayang-bayang pedihnya siksa neraka tergambar jelas. Kematian di dunia cuma sekali. Sementara, di neraka orang tidak pernah mati. Selamanya merasakan pedihnya siksa. Terus, dan selamanya.

Seperti apa siksa neraka, Rasulullah saw. pernah menggambarkan sebuah contoh siksa yang paling ringan. “Sesungguhnya seringan-ringan siksa penghuni neraka pada hari kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua tumitnya diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya. Sedangkan ia berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang lebih berat siksaannya daripada itu, padahal itu adalah siksaan yang paling ringan bagi penghuni neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Belum saatnyakah kita menangis di hadapan Allah. Atau jangan-jangan, hati kita sudah teramat keras untuk tersentuh dengan kekuasaan Allah yang teramat jelas di hadapan kita. Imam Ghazali pernah memberi nasihat, jika seorang hamba Allah tidak lagi mudah menangis karena takut dengan kekuasaan Allah, justru menangislah karena ketidakmampuan itu.

Leave a comment »

MEWUJUDKAN RUMAH TANGGA IDAMAN

MEWUJUDKAN RUMAH TANGGA IDAMAN

Rumahku Surgaku, Dimana Gerangan ?

Bagi seorang gadis, saat pernikahan adalah saat dinantikan. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa pernikahan adalah peristiwa besar dalam hidup seseorang. Pernikahaan membawa perubahan status, peranan, bahkan perubahan hak dan kewajiban. Tidak heran bila seorang gadis akan memasuki gerbang rumah tangga dengan berbagai rasa berkecamuk didada. Ada haru, was-was, cemas bahagia, juga gelisah. Angannya melambung. Impiannya terenda. Dalam galau ada tanya dihati: akankah kuraih rumah idamanku ?

Fakta telah berbicara bahwa ada banyak biduk yang karam dihempas gelombang. Ada banyak insan yang harus melepas impian rumahku surgaku, baiti jannati!. Tak ada lagi manisnya madu pernikahan, yang tersisa empedu dan kegetiran. Angka perceraian semakin tinggi. Tentu saja ini belum termasuk jumlah rumah tangga yang mengalami kebekuan, kurang harmonis dan tidak sehat, namum karena berbagai alasan, tetap bertahan.

Bagi kita yang meyakini bahwa rumah tangga adalah sarana penentram jiwa, pembawa misi mawaddah wa rohmah, dan satu anak tanga menuju kejayan Islam, keadaan ini tentu saja tak dapat dibiarkan. Harus ada kesadaran untuk memperbaiki, harus ada keinginan untuk melakukan upaya penyelamatan.

Mengapa biduk rumah tanggaku karam ?

Beberapa faktor penyebab kegagalan membina kebahagian suami-istri.:

Pertama, kurangnya perhatian terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan fase pra-nikah.

Kedua, kurangnya pemahaman tentang hak dan kewajiban suami-istri.

Ketiga, ketidakmampuan untuk bersikap realitis dalam masalah nafkah, sifat masing-masing, pemenuhan hak dan kewajiban, serta masalah lainnya.

Keempat, kurang memehami masalah kejiwaan masing-masing pihak.

Kelima, pengabaian terhadap masalah anak.

Keenam, ketidakmampuan bersikap proporsional dalam menghadapi problema rumah tangga.

Upaya Membina Rumah Tangga Samara

Rumah tangga samara (sakinah, mawaddah, rahmah) tidaklah wujud dengan proses sim-salabim tanpa kerja keras individu-individu pendukungnya. Karena itu, pemahaman yang benar tentang konsep rumah tangga samara berikut kriteria isteri dan suami teladan mutlak dimiliki.

A). Konsep Rumah Tangga Samara

Rumah tangga adalah markas atau pusat dimana denyut-denyut pergaulan hidup bergetar. Ia adalah susunan yang hidup, yang dapat mengekalkan keturunan. Rumah tangga adalah alam pergaulan manusia yang diperkecil. Bukankah dalam rumah tangga itu lahir dan tumbuh apa yang disebut aturan hidup (dien), kekuasaan, pendidikan, hukum dan perusahaan ?

Keluarga adalah kesatuan yang utuh, teratur, dan sempurna. Dari situ bergelora perasaan yang halus dan sukma yang hidup, yang dianggap sebagai mata air perikemanusiaan dan telaga pesaudaraan sejagad yang tidak pernah kering.

Struktur rumah tangga yang terbentuk melalui hubungan pernikahan mengandung tanggung jawab sekaligus meliharkan rasa saling memiliki dan saling berharap (mutual expectation). Perikatan hukum yang diikuti perikatan batin itu akan menimbulkan saling asah, asih dan asuh yang tercermin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.

Rumah tangga samara bercermin pada rumah tangga yang dibangun, dibentuk dan dibina oleh Rasulullah s.a.w. Teduh dan lapang dalam segala aspeknya, baik secara moral, mau pun material. Jauh dari sikap boros dalam makanan, pakaian, perabot rumah tangga dan sebagainya (QS: Al’Araf: 31). Kelapangan dari segi moral dalah segala sesuatu yang meliputi tingkah laku dan pemikiran. Penghuni rumah tangga samara selalu mengikuti tuntunan perilaku Rasulullah s.a.w.. Dalam pemikiran mereka menyukai kejelasan dan kedalaman serta menjauihi hal-hal yang rumit dan dangkal.

Dalam rumah tangga samara akan ditemui suasana yang sehat bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Anak-anak telah diarahkan sejak dini untuk memiliki aqidah, visi hidup, pola pikir dan akhlak yang benar. Mereka tumbuh dan berkembang dalam suasana kondusif menuju pribadi dewasa yang memiliki aqidah sehat, ibadah benar, ahklak sempurna, fisik yang kuat, mandiri, pandai mengatur dan mengurus urusannya, bertanggung jawab, pandai mengatur waktu, dan optimal dalam memanfaatkan potensinya untuk meraih materi.

Rumah tangga samara akan menjadikan jihad, syahid, dan surga sebagai tujuan optimal kehidupan berumah tangga. Mampu membebaskan diri dan keluarga dari api neraka dengan masuk surga dijadikan sebagai ukuran kesuksesan hakiki. (QS: Al Imron : 185).

Rumah tangga samara jauh dari kebisingan akibat perselisihan dan pertengkaran. (QS: Luqman: 19).

Menjaga kebersihan dan kesucian adalah hal yang selalu dijaga dalam sebuah rumah tangga samara (QS: At Taubah: 108).

B). Kriteria Suami & Isteri Teladan

Membicarakan konsep rumah tangga samara tentu saja tidak lepas dari pembicaraan tentang kriteria suami dan isteri teladan sebagai unsur utama penopang tegaknya rumah tangga.

Sebab, suami adalah qowwam dan isteri adalah mitra qowwam yang sangat berpengaruh. Suami adalah juga bapak dan isteri adalah juga ibu. Suami berperan utama di sektor publik dan isteri bertanggung jawab utama pada sektor domestik. Mereka ibarat dua kepak sayap burung yang tak boleh patah salah satunya.

Sehingga sebagai qowwam, suami haruslah tegak dan mampu menegakkan. Sikap tersebut tercermin dalam kemampuannya mengarahkan dan membimbing rumah tangga, pergaulan yang ma’ruf, tanggung jawab pendidikan anak, dan tanggung jawab pemenuhan aspek materi.

“Sebaik-baik kamu dalah terbaik terhadap isterinya. Aku adalah yang terbaik diantara kamu terhadap isteri. Tidaklah menghormati wanita kecuali laki-laki yang mulia, dan tidaklah menghinakannya kecuali laki-laki yang hina” begitulah Rasulullah s.a.w. berpesan. (HR. Ibnu Asakir dari Ali ra).

Dan sebagai mitra qowwam, isteri haruslah pandai membaca dan menterjemahkan petunjuk sang qowwam. Isteri harus dapat berfungsi sebagai rumah psikis bagi suami, sebab ia pembawa misi penentram dan penyejuk. Kedudukannya sebagai mitra menuntut seorang isteri untuk mampu mengimbangi dan berbagi tugas dengan suami dalam menjalankan roda rumah tangga.

C). Kiat-kiat membina rumah tangga samara

Seringkali kita dihadapi pada kondisi paham sesuatu secara konsep (teoritis) tapi terbentur pada praktiknya. Begitu juga dalam berumah tangga. Kita paham bagaimana seharusnya, tapi sulit untuk bersikap bagaimana seharusnya.

Kiat-kiat praktis membina rumah tangga samara, antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama: Harus ada penetapan cinta dalam diri suami isteri. Cinta yang mekar diawal pernikahan hendaknya tetap bersemi dalam perjalanan selanjutnya. Jangan biarkan cinta brguguran. Jangan buang bahasa cinta dalam kamus pergaulan suami isteri. Sikap mesra dan romantis yang biasanya bertaburan pada awal pernikahan hendaknya dapat dipertahankan. Tidak ada istilah sudah tua untuk mengekspressikan rasa cinta dengan mengatakan, mencium, memeluk atau bersikap manis. Bukankah Rasulullah s.a.w. senantiasa menunjukkan rasa cintanya pada isteri dan anak-anaknya dengan mencium, memeluk, bermain-main, dan bersenda gurau….?

Kedua: Harus dikembangkan sistem kerja sama yang benar, harmonis dan seimbang, disertai keinginan untuk menjauhi sebab-sebab perpecahan dan perselisihan.

Ketiga: Harus dipikirkan pola komunikasi yang sehat dan efektif, terlebih bila banyak kesibukan dan tanggung jawab lain diluar rumah tangga. Adalah tidak sehat bila isteri merasa tertekan dengan gaya bossy sang suami atau sebaliknya suami merasa isteri tidak mengindahkannya.

Keempat: Harus ada upaya untuk menyelesaikan problem-problem rumah tangga dengan sikap dewasa dan proporsional. Termasuk didalamnya masalah perasaan, anak, ekonomi, komunikasi, dan sebagainya. Masalah sekecil apapun harus tuntas. Adalah kebiasaan yang salah, namun banyak terjadi, menganggap selesainya masalah dengan berlalunya waktu atau mendiamkannya.

Kelima: Adanya perhatian terhadap kesehatan hubungan seksual suami isteri. Adalah keliru bila menganggap masalah seksual sebagai hal tabu yang tak patut dibicarakan dan dipermasalahkan. Bukankah Allah s.w.t. memberikan hajat seksual ini sebagai kebutuhan fitrah yang tak mungkin ditinggalkan? Sikap realistis dan proporsional kembali diperlukan dalam menyelesaikan masalah ini.

Keenam: Sedapat mungkin menghindari adanya intervensi pihak lain dalam urusan internal rumah tangga, baik dalam masalah ekonomi, pendidikan anak, ataupun masalah kebijakan rumah tangga. Ini dapat terjadi manakala kemandirian dan tidak menunjukkan sikap ketergantungan telah diterapkan sejak awal.

Rumah Tangga Samara : Bukan Utopia !!!

Mengapa tidak ?? Kita tak perlu pesimis. Yakinlah. Rasulullah s.a.w. turun membawa ajaran Islam untuk menjadi nyata, termasuk merealisasikan konsep rumah tangga samara di muka bumi ini. Dan ajaran Islam adalah pas buat kita. Tinggal berpulang pada diri: maukah berusaha maksimal atau tidak ?.

Wallohu’alam !

Leave a comment »

MENJADI MUSLIM PRODUKTIF

MENJADI MUSLIM PRODUKTIF

“Sesungguhnya Allah telah menciptakan tanganmu untuk bekerja. Jika kamu tidak mendapati suatu pekerjaan untuk urusan ketaatan, maka ia akan mencari beberapa pekerjaan untuk urusan maksiat”. Produktif adalah kemampuan menghasilkan produk yang bermanfaat bagi diri sendiri, maupun orang lain. Ketika Nabi SAW ditanya, siapa mukmin yang paling baik, beliau menjawab: ”Yang paling bermanfaat bagi sekitarnya (Naafi’un, Lighoirihi)”. Produktifitas, kini menjadi tuntutan bagi setiap muslim. Dakwah Islam akan menang, kalimahnya akan tegak di bumi jika dilakukan oleh para da’i yang produktif hidupnya.

Hakikat Bekerja
Al ’Amal Huwal Asas!, begitu ungkapan hikmah. Bekerja akan berbicara lebih keras dari perkataan (Action Speaks Loder Than Words). Kontribusi lebih berarti daripada mencaci. Produktifitas melakukan proses kerja dan usaha. Bekerja berarti malakukan suatu amal, berbuat dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain maupun bagi agama, bangsa dan negara.
Islam sangat menghargai dan memulyakan kerja. Orang yang berkerja menghidupi dirinya, keluarganya , bahkan demi kesejahteraan masyarakatnya, di mata Allah jauh lebih utama ketimbang seorang ’abid yang mengabaikan kerja. Sikap malas adalah aib bagi manusia dan itulah yang kelak menjadi sebab kemerosotannya. Allah berfirman: ”Jika kamu selesai menunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah sebagian karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah:10)
Nabi pun bersabda:”Orang yang bekerja keras demi keluarganya adalah seperti orang yang berjuang di jalan Allah azza wa jalla” (HR.Tabrani, Baihaqi dan Ahmad)
Dari dalil-dalil di atas, terlihat bahwa Islam adalah agama yang sangat menekankan aspek amal dan etos kerja positif. Bekerja berarti memberikan pengaruh besar bagi kemajuan dan perkembangan. Bekerja adalah satu-satunya sarana untuk menundukkan kekuatan alam dan memanfaatkannya sebaik mungkin demi kesejahteraan umat.
Orang-orang besar dalam Islam bekerja dengan baik . Tak satupun nabi yang diutus di dunia ini yang tidak bekerja. Nabi Muhammad menggembalakan kambing, berdagang. Nabi Daud seorang pandai besi, Nabi Adam bercocok tanam, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, dan Nabi Musa penggembala. Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar terbiasa pergi ke pasar untuk berdagang pakaian. Umar bin Khattab terbiasa mengangkut air dengan girbah untuk kepentingan keluarganya. Fatimah, anak Nabi, sering memutar batu penggiling hingga tangannya berbekas atau mengambil air dengan girbah hingga pundaknya luka. Imam Malik aktif berdagang, sedangkan Imam Ahmad bin Hambal sibuk menasakh, meneliti dan menyusun kitab-kitab. Imam Ahmad bin Umar, penyusun kitab tentang pajak tanah berprofesi ”penambal sepatu”. Ia menyelesaikan kitab di sela-sela kesibukannya sebagai penambal sepatu.

Bekerja dunia akhirat
”Dialah Allah yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik pekerjaannya.” (QS.Al Mulk:2)
Allah menciptakan mati dan hidup untuk menguji manusia, siapa yang terbaik pekerjaannya selama di dunia. Memahami hakikat mati dan hidup adalah penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengisi kehidupan dunia dan akhirat kelak. Meninggalkan salah satunya hanya akan membawa bencana. Allah menekankan manusia agar memperhatikan dan menghargai kehidupan dunianya, di samping kehidupan akhirat yang memang seharusnya lebih dominan.
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kami lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi..” (QS.Al Qashas:77)
”Yang terbaik di antaramu bukanlah orang yang meninggalkan akhirat demi dunianya, dan yang meninggalkan dunianya demi akhiratnya, dan dia tidak menyusahkan manusia” (Al Hadist al Khatib dari Anas)

Syarat-syarat Produktifitas
Produktifitas dalam kehidupan umat Islam tentu saja tidak akan terwujud begitu saja. Berikut ini beberapa aspek yang dapat dilakukan dalam bekerja, antara lain:

1. Setiap muslim hendaknya selalu meningkatkan kualitas dirinya.
Jadilah manusia pembelajar! Karena hanya dengan belajar, setiap pribadi dapat meningkat kualitas dirinya, tumbuh dan berkembang, baik dari segi akal, ruhani maupun jasad. Aktifitas belajar dilakukan agar manusia secara alamiah berproses menjadi lebih dewasa dan berkualitas dalam menghadapi dan menilai kehidupannya.
Produktifitas sejalan dengan kualitas. Berkualitas berarti memiliki kemampuan. Setidaknya ada tiga hal yang berkaitan dengan kemampuan; yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan keterampilan (skill). Meningkatkan kualits diri adalah selalu belajar mematangkan ketiga hal tersebut.
2. Setiap muslim hendaknya me-menej waktu dengan baik
Asy-Syahid Hasan Al Banna mengatakan, ”Waktu adalah kehidupan”. Hasan Al Basri menasehato ”Sesungguhnya kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hati milikmu pergi, berarti pergilah sebagian dirimu. Waktu berjalan dan mustahil kembali. Kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin, karena menyiakannya termasuk tindakan jahil. Rasulullah SAW bersabda: ”Dua macam nikmat dari beberapa nikmat Allah yang banyak menipu manusia adalah nikmat kesehatan dan kekosongan (kesenggangan)” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas).


3. Bertawkakal Hanya kepada Allah
Tawakkal kepada Allah saat bekerja penting untuk membangun produktifitas. Tawakkal adalah bersandar kepada Allah, mengaitkan hati pada-Nya, memperhitungkan sebab-musabab dan menyerahkan hasil akhir kepada Allah semata. Konsep tawakkal dapat mendorong manusia menyisingkan lengan baju. Bersungguh-sungguh dalam berkiprah dan bekerja seraya mengharapkan hasil maksimal dari usaha yang telah dia korbankan, bukannya menanti takdir dari langit tanpa berusaha yang akibatnya mendorong manusia ke kemalasan dan kehancuran hidup. Nabi SAW bersabda: ”Upayakan dahulu masalahnya, lalu bertawakallah” (HR.Turmudzi)


4. Kesesuaian antara Pekerjaan dengan Kecendurangan Aktualisasi Diri
Pekerjaan akan efektif dan produktif jika dicintai bukan dipaksakan. Melakukan pekerjaan dibenci berarti melakukan ua kerja keras. Pertama mencoba mencintai pekerjaan itu, lalu melakukan pekerjaan itu sendiri. Jika seseorang yang mencitantai pekerjaannya maka dia telah mendayagunakan potensinya untuk beraktifitas, melaksanakan gagasan sekaligus mengaktualisasilkan dirinya.


5. Tidak bekerja dalam kelelahan
Seseorang akan bekerja dengan efektif ketika berada dalam kondisi sehat dan segar. Ada dua macam kelelahan: kelelahan fisik dan kelelahan pikiran. Keduanya saling berhubungan. Fisik yang terlalu lelah akan mengakibatkan emosi tidak stabil dan membuat otak tak mampu berpikir jernih. Bekerja dalam keadaaan lelah (fisik dan pikiran) selain mendzalimi diri sendiri juga dapat menyebabkan kejenuhan dan menggagalkan produktifitas. Rasul bersabda: ”Sesungguhnya pada badanmu terdapat hak-hak yang harus dipenuhi” (HR.Muslim)


6. Memanfaatkan Teknologi
Teknologi hadir untuk memudahkan pekerjaan. Darimanapun datangnya, ia adalah hikmah bagi umat Islam untuk dijadikan sarana mengefisienkan dan mengefektifkan usaha. Dengan teknologi, kerja akan jadi lebih produktif, hemat waktu dan tenaga.
Akhirnya, hidup ini hanya sekali. Kehidupan menurut al Qur’an adalah sesuatu yang menipu dan sekedar perhiasan di balik gemerlapnya. Akab lebih sia-sia jika tidak diisi dengan kontribusi. Ayo berbuat, ayo bekerja. Di bumi ini tidak ada tempat sama sekali bagia yang tidak mau bekerja dan berjuang dalam kehidupan. Wallahu a’lam
”Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (At Taubah:105)

Sumber: Majalah Al Izzaah No.13/Th.2, 31 Januari 2001

Leave a comment »

Manajemen Waktu dan Kualitas Diri

Manajemen Waktu dan Kualitas Diri

Oleh: Tim dakwatuna.com

Dalam Al-Qur’anul Karim Surat Al-Ashr (103): 1-3, Allah berfirman yang artinya sebagai berikut.

1. Demi masa.

2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia memang benar-benar berada dalam kerugian apabila tidak memanfaatkan waktu yang telah diberikan oleh Allah secara optimal untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Hanya individu-individu yang beriman dan kemudian mengamalkannyalah yang tidak termasuk orang yang merugi, serta mereka bermanfaat bagi orang banyak dengan melakukan aktivitas dakwah dalam banyak tingkatan.

al-ashr.gif

Lebih lanjut, dalam Al-Qur’an surat Al-Imran (3) ayat 104, Allah berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dengan demikian, hanya orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkarlah orang-orang yang memperoleh keuntungan.

Setiap muslim yang memahami ayat di atas, tentu saja berupaya secara optimal mengamalkannya. Dalam kondisi kekinian dimana banyak sekali ragam aktivitas yang harus ditunaikan, ditambah pula berbagai kendala dan tantangan yang harus dihadapi.

Seorang muslim haruslah pandai untuk mengatur segala aktivitasnya agar dapat mengerjakan amal shalih setiap saat, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, dirinya menginginkan sebagai ahli ibadah, dengan aktivitas qiyamullail, shaum sunnah, bertaqarrub illallah, dan menuntut ilmu-ilmu syar’i. Dalam hubungannya secara horizontal, ia menginginkan bermuamalah dengan masyarakat, mencari maisyah bagi keluarganya, menunaikan tugas dakwah di lingkungan masyarakat, maupun di tempat-tempat lainnya.

Semua itu tentu saja harus diatur secara baik, agar apa yang kita inginkan dapat terlaksana secara optimal, tanpa harus meninggalkan yang lain. Misalnya, ada orang yang lebih memfokuskan amalan-amalan untuk bertaqarrub ilallah, tanpa bermu’amalah dengan masyarakat. Ada juga yang lebih mementingkan kegiatan muamalah dengan masyarakat, tetapi mengesampingkan kegiatan amalan ruhiyahnya.

Dalam hal ini, manajemen waktu untuk merencanakan, mengatur, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang ada haruslah memiliki landasan-landasan berikut.

1. Pengetahuan kaidah yang rinci tentang optimalisasi waktu

Setiap muslim, hendaknya memahami dan mengetahui kaidah-kaidah yang rinci tentang cara mengoptimalkan waktunya. Hal ini bertujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan dirinya dan orang lain. Tokoh-tokoh seperti Imam Ibnul Jauzi, Imam Nawawi, dan Imam Suyuthi adalah orang-orang yang menjadi teladan bagi orang-orang yang bisa mengoptimalkan waktu semasa hidupnya.

2. Memiliki manajemen hidup yang baik

Setiap muslim haruslah pandai mengatur segala urusan hidupnya dengan baik, menghindari kebiasaan yang tak jelas, matang dalam pertimbangan dan mempunyai perencanaan sebelum melakukan pekerjaan. Ia harus berpikir, membuat program, mempersiapkan, mengatur dan melaksanakannya.

3. Memiliki Wudhuhul Fikrah

Seorang muslim haruslah memiliki keluasan atau fleksibilitas dalam berpikir, seperti mampu berpikir benar sebelum bertindak, berpengetahuan luas, mampu memahami substansi pemikiran dan paham. Hal itu penting sebagai dasar pengembangan berpikir ilmiah.

4. Visioner

Seorang muslim juga harus memiliki pandangan jauh ke depan, bisa mengantisipasi berbagai persoalan yag akan terjadi di tahun-tahun mendatang.

5. Melihat secara utuh setiap persoalan

Setiap orang yang dapat mengatur waktunya secara optimal, tidak melihat masalah secara parsial. Karena bisa jadi, persoalan itu memiliki kaitan dengan yang lainnya.

6. Mengetahui Perencanaan dan skala prioritas

Mengetahui urutan ibadah dan prioritas, serta mengklasifikasi berbagai masalah adalah faktor penting dalam mengatur waktu agar menghasilkan kerja yang optimal. Dengan membuat skala prioritas, akan menghindarkan dari ketidakteraturan kegiatan.

7. Tidak Isti’jal dalam mengerjakan sesuatu

Mengerjakan sesuatu dengan tidak tergesa-gesa dan berdasar pada ketenangan jiwa yang stabil merupakan landasan yang penting dalam mewujudkan hidup yang lebih baik.

Sementara, orang yang musta’jil menginginkan agar dalam waktu singkat ia mampu melakukan hal-hal yang terpuji, sekaligus meninggalkan hal-hal yang tidak terpuji. Hal ini jelas tidak sesuai dengan sunah kauniyah, yaitu hukum alam dan kebiasaan.

8. Berupaya seoptimal mungkin

Jika kita menginginkan terwujudnya aktivitas amal shalih, maka secara optimal kita harus mengarahkan diri pada persoalan itu sesuai kemampuan yang ada pada diri kita.

9. Spesialisasi dan pembagian pekerjaan

Setiap muslim haruslah memiliki keahlian tertentu. Ia boleh memiliki pengetahuan luas, tetapi ia juga perlu memfokuskan pada keahlian tertentu.

Landasan-landasan di atas hanya dapat dipenuhi, jika telah memenuhi syarat sebagai berikut.

1. Disiplin dan Pembiasaan sejak dini

Penanaman disiplin akan waktu, mengahargai waktu sejak kecil merupakan hal penting. Dengan demikian, ia akan terbiasa untuk mengatur hidupnya secara mandiri dan optimal untuk merencanakan berbagai macam aktivitas. Disiplin terkait dengan ibadah, tidur, makan, termasuk senda gurau. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Berilah istirahat hati karena kalau dipaksakan akan membabi buta.”

2. Memiliki kecerdasan dan kejeniusan

Munculnya indikasi kecerdasan pada seseorang merupakan faktor penting untuk bisa mewujudkan hal di atas.

3. Memiliki kondisi fisik dan mental yang positif

Untuk melaksanakan manajemen waktu yang optimal, memang perlu ditunjang dengan adanya keinginan yang kuat, tindakan yang terus menerus, aktif, lapang dada, penuh optimisme, berpengetahuan luas, mampu memadukan berbagai pemikiran dan mampu mengendalikan emosi, seperti sedih, berduka dan susah, di samping memiliki budi pekerti dan akhhlak yang tinggi.

4. Memiliki ketrampilan

Pengetahuan yang luas, tanpa diiringi dengan ketrampilan hanya akan menjadi aksi yang tidak kongkret. Banyak orang yang pandai berbicara, tetapi hanya sedikit orang yang bisa bekerja dan menekuni bidang pekerjaannya.

Leave a comment »

KARAKTERISTIK KELUARGA TELADAN

KARAKTERISTIK KELUARGA TELADAN

Rumah tangga teladan merupakan dambaan setiap insan, baik bagi mereka yang belum memasuki jenjang tersebut maupun bagi yang tengah menapakinya. Mendirikan rumah tangga teladan bukanlah pekerjaan yang ringan, karena di dalamnya diperlukan jihad yang besar, tadhiyah (pengorbanan) yang tinggi, saling tafahum (memahami) antara suami istri, dan sikap ikhlas dalam menerima kelemahan masing-masing. Oleh karena itu untuk mendirikan rumah tangga teladan diperlukan pribadi-pribadi tangguh dan kokoh, agar mampu menahan badai dan ombak yang menerpa biduk rumah tangga.

Allah telah memperlihatkan tipe rumah tangga teladan lewat utusan-Nya Rasulullah SAW. Sebagai umatnya kita diwajibkan untuk beruswah (mengambil contoh) kepada beliau dalam segala hal, termasuk rumah tangga. Hal ini sebagaimana telah diperintahkan Allah dalam kitab-Nya yang mulia “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah, suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan hari kiamat. Dan dia banyak menyebut nama Allah” (QS. 33: 21).

Rasulullah membina rumah tangganya berlandaskan taqwa, dan taat sepenuhnya kepada wahyu. Suatu ketika para istri Rasul mengadakan ‘aksi’ untuk meminta kenaikan uang ‘belanja’. Menghadapi ulah istrinya itu Rasul mendiamkan mereka selama sebulan penuh sambil menunggu wahyu Allah. Akhirnya wahyu Allah pun datang, “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu: “Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki keridhoan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan kampung akhirat, maka Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar”. (QS. 33: 28-29).

Setelah selesai menerima wahyu, Rasulullah menjumpai para istrinya untuk mengabarkan firman Allah tersebut. Dan ternyata para istri beliau kemudian lebih memilih Allah dan Rasul-Nya daripada perhiasan dunia.

Jelaslah karakteristik pertama rumah tangga teladan adalah rumah tangga yang didirikan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, penyelesaian segala persoalan dikembalikan pada Al-Qur’an dan hadits.

Dalam hal ini Allah berfirman, “Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan pada Allah dan Rasul-Nya “. (QS. 4: 59).

Karakteristik kedua yakni, rumah tangga yang senantiasa bersih, dan terbebas dari serangga dan sampah. Rasulullah bersabda, “Jangan kamu meniru orang Yahudi, mereka itu meletakkan sampah di halaman rumah “. Dalam hadits lain Rasul pun bersabda bahwa “Kebersihan itu sebagian daripada iman”. Adapun hadits yang menunjukkan bahwa rumah tangga seorang muslim harus terbebas dari serangga yakni, “Barangsiapa membunuh cecak dengan sekali pukul maka ditulis baginya seratus kebaikan. Bila dengan dua kali pukul ditulis baginya kurang dari itu dan bila dengan tiga kali pukul terjadilah pengurangan lagi”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Karakteristik yang ketiga; Rumah tangga yang berdiri di atas pondasi kuat berupa ketenangan, cinta dan kasih sayang. Jauh dari segala keributan dan kebisingan. Allah berfirman: “Dan pelankan suaramu, sesungguhnya seburuk-buruknya suara adalah suara keledai” (QS. 31: 19). Rumah tangga yang didirikan atas dasar cinta dan kasih sayang merupakan batu pertama bagi tegaknya masyarakat yang juga dilandasi oleh cinta dan kasih sayang. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak lain merupakan kumpulan dari keluarga. Apabila kita dapat mendirikan keluarga yang saling mencintai dan menyayangi, maka otomatis masyarakat yang saling cinta mencintaipun akan terwujud pula. Allah berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Allah menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri supaya kamu merasa cenderung dan tenteram kepadanya. Dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang … ”

Karakteristik keempat: Rumah yang ideal harus mampu memberikan tempat tidur sendiri bagi anak-anaknya. Pemisahan tempat tidur ini berdasarkan hadits “Suruhlah anakmu sholat pada saat berumur tujuh tahun, dan pukullah bila mereka enggan melakukannya saat sudah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka”. (HR.Abu Daud).

Rumah tangga yang baik manakala anggota-anggotanya saling bekerjasama dalam masing-masing melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Rasulullah telah memberi contoh bagaimana beliau membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga para istrinya. Berkata A’isyah “Rasulullah selalu membantu istrinya. Apabila tiba waktu sholat, beliau pergi untuk menunaikan sholat”. (HR.Bukhari dan Tirmidzi). Banyak pekerjaan rumah tangga yang sering beliau kerjakan, seperti memperbaiki sandal, memerah susu, mempersiapkan segala keperluan pribadi, mengasuh anak dan sebagainya. Apabila Rasulullah saja sebagai pemimpin besar umat mau membantu para istrinya, apalagi bagi para laki-laki yang kedudukannya lebih rendah dari beliau, tentu harus lebih “mau” dalam membantu para istrinya.

Karakteristik yang terakhir adalah jauh dari sikap boros (sederhana), dalam hal makanan, minuman, pakaian dan perabot rumah tangga. Sikap sederhana ini akan menghindarkan kita dari ‘pemubadziran’. Allah befirman: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. 7:31)

Wallahu a’lam bishshowwab

Leave a comment »

BAHTERA KELUARGA MUSLIM

BAHTERA KELUARGA MUSLIM

Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abu Dzar : “Perkokohlah bahteramu karena samudra ini amat dalam. Perbanyaklah bekalmu karena perjalanan ini amat panjang. Ikhlaskanlah amalmu karena pencatatmu sungguh amat jeli.”

Amal ibadah mempunyai 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

  1. Lillah : hanya karena Allah SWT
  2. Billah : bersama Allah SWT, artinya mengikuti apa yang perintah Allah SWT
  3. Illallaah : tujuan akhir hanya mencari keridhaan Allah SWT

Membangun sebuah rumah tangga muslim juga merupakan ibadah yang harus memenuhi ketiga syarat tersebut. Dasar membangun rumah tangga adalah keikhlasan karena perintah Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasulullah saw, bukan hanya ingin mendapatkan pasangan hidup. Dalam pelaksanaannya pun seperti apa yang dicontohkan Rasulullah saw, bukan dengan cara-cara lain yang dilarang. Sedangkan tujuan akhir dari pembentukannya adalah hanya untuk mencari keridhaan Allah SWT, bukan kedudukan, harta atau keridhaan manusia.

Hadits Rasulullah saw diatas telah mensinyalir, bahwa samudra yang akan diarungi oleh bahtera rumah tangga amatlah dalam dan perjalanannya pun amat panjang. Karena itulah perlu adanya usaha ekstra, baik dalam mempersiapkan, memasuki gerbangnya dan berjalan diatas keagungan nilainya.

Bagaimana Memperkokoh Bahtera ?

Kehidupan sebuah rumah tangga dapat diumpamakan sebagai sebuah bahtera. Keselamatan bahtera itu sangat tergantung dari kewaspadaan para penumpang diatasnya. Rasulullah saw memberikan gambaran bagaimana seharusnya hidup bersama dalam berumah tangga.

Rasulullah saw bersabda : “Perumpamaan orang-orang yang menjaga batas-batas Allah SWT dengan mereka yang melanggarnya, bagaikan satu kaum yang menaiki sebuah bahtera. Sebagian mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bawah. Mereka yang di bawah jika ingin air (terpaksa) melewati orang-orang yang di atas, lalu berkata, “Seandainya kita lubangi (bahtera ini) untuk mendapatkan air, tentu kita tidak lagi mengganggu orang-orang yang di atas.” Jika orang yang diatas membiarkan keinginan mereka yang di bawah, tentu semua akan binasa. Jika mereka menghalanginya, mereka akan selamat dan selamatlah semuanya.” (HR Bukhari dan Tarmidzi)

Dalam mengarungi samudra kehidupan kadang bahtera itu miring ke kiri dan ke kanan. Satu saat tenang, dan di saat lain dihempas gelombang. Untuk itulah sejak awal bahtera harus dipersiapkan dan diperkuat di segala sisinya. Caranya ialah dengan selalu menjaga langkah agar tidak keluar dari tujuan asasinya serta selalu menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga.

Musthafa Masyur mengungkapkan bahwa kesejahteraan keluarga bukanlah terletak pada aspek fisik materi, tapi keterikatan anggota keluarga dengan aqidah, ibadah, akhlaq dan pergaulan Islam, hingga seluruh kehidupan terwarnai dengan identitas Islam secara utuh. Bagaimana kehidupan yang islami, dapat kita lihat dari suri tauladan kita Rasulullah saw. Karena Allah SWT sendiri telah menyatakan dalam Al-Qur’an : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. 33:21)

Kita mencontoh bagaimana Beliau shalat dan beribadah, makan, minum, tidur, menjalin sillaturrahmi dengan para shahabatnya, dsb. Selain itu ada 3 hal penting yang harus diperhatikan dan dipersiapkan oleh pasangan baru, yaitu :

1. Rumahku surgaku

Yaitu keluarga sakinah yang didalamnya terdapat ketentraman dan ketenangan, baik bagi suami, istri ataupun anak-anak. Dimana masing-masing berusaha melakukan perannya dengan sebaik mungkin dan saling meringankan beban satu sama lain (bukan membebani).

2. Rumah adalah madrasah kecil

Yaitu adanya proses belajar mengajar. Semua anggota keluarga saling mengisi dan memperbaiki kekurangan dan kelemahan yang ada, bukan hanya sekedar memaklumi. Faktor penunjang yang penting demi lancarnya proses belajar mengajar ini adalah komunikasi dan sikap keterbukaan sesama anggota keluarga, saling menasehati dan rela untuk dinasehati serta berjalannya fungsi saling membantu antara suami istri.

4. Hiasi rumah dengan shalat, salam, doa dan tilawah Al-Qur’an

Ibadah-ibadah tersebut akan lebih terasa indah dan nikmat jika dilakukan secara berjamaah. Hal inilah yang akan memberikan suasana islami yang segar di dalam rumah.

Bagaimana Memperbanyak Bekal ?

Ilmu dan harta adalah dua bekal yang harus dipersiapkan sebelum seseorang memasuki gerbang pernikahan. Bekal ilmu untuk persiapan mental dan bekal harta untuk persiapan fisik. Mengapa harus dipersiapkan sebelumnya ? Jodoh adalah ketentuan Allah SWT yang kita tidak tahu kapan datangnya. Jika kedua bekal tersebut sudah dipersiapkan dengan baik sebelumnya, maka seseorang tidak akan menjadi “kelabakan” ketika jodoh tiba di depan mata. Tanpa persiapan yang baik atau bahkan tanpa bekal sama sekali hanya akan menimbulkan kesulitan kelak dalam kehidupan rumah tangga. Namun dalam hal harta, bukan sedikit atau banyaknya penghasilan yang didapatkan, tetapi nilai usaha dan barokah (kebaikan) yang ada di dalamnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman : “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. 24:32)

Hindarilah rasa ketakutan yang berlebihan (takut akan kemiskinan dan kekurangan), karena itu adalah godaan syetan yang hanya akan menimbulkan keputusasaan.

Dan sebagai muslimah, sebaiknya membekali diri dengan pendidikan ketrampilan untuk dapat menyempurnakan kewajibannya dalam rumah tangga. Misalnya ilmu tentang berumah tangga, mengurus anak, tata boga, tata busana, bagaimana mengelola ekonomi rumah tangga, perpustakaan rumah dsb. Tujuan dari pembekalan ilmu tersebut adalah agar kelak ia tidak canggung dalam menjalankan fungsinya sebagai istri bagi suaminya dan sebagai ibu bagi anak-anaknya.

Bagaimana Mengihklaskan Amal ?

Dengan selalu mengingat, menjaga dan memelihara tujuan pembentukan rumah tangga, yaitu mencari ridho Allah SWT, akan menghasilkan keikhlasan dalam beramal.

Dasar dalam membangun rumah tangga adalah karena takwa kepada Allah SWT, yaitu adanya muroqobatullah (kesertaan Allah SWT dalam setiap gerak langkah), mengutamakan keridhaan Allah SWT, menjauhi kebencianNya serta komitmen terhadap pengarahan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw serta adanya keyakinan bahwa berumah tangga adalah ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Takwa inilah yang akan menghasilkan kebahagiaan dalam keluarga dimana masing-masing anggota dalam keluarga berusaha menjalankan tugas dan kewajibannya untuk menggapai ridha Allah SWT. Dan yang terakhir, kebahagiaan keluarga hanyalah bagi mereka yang mendasarkan kehidupan keluarganya pada ibadah karena Allah SWT.

Diangkat dari : Aniesul Mukminin oleh Safwak Sa’dallah Al-Mukhtar

Sumber: An nisa online

Leave a comment »

7 Panduan Jadi Ayah Teladan

7 Panduan Jadi Ayah Teladan

Tidak hanya ibu, peran ayah dalam mendidik anak pun amat besar. Menurut Dra. Henny E. Wirawan, M.Hum., Psi, seorang ayah bisa menjadi role model atau model peran. Misalnya, mengajarkan bagaimana menjadi orang yang tekun dalam bekerja. Ayah juga berperan sebagai pemberi dana keluarga sekaligus menjadi pengamat dari sudut pandangnya sebagai ayah.

ANAK DAN AYAH BELAJAR
Apa saja yang bisa dilakukan seorang ayah dalam mendukung pendidikan saat si anak mulai sekolah?

1. Menemani belajar
Jika biasanya ayah membaca koran sendiri, sekarang membacalah bersama si kecil yang sedang belajar. Keberadaan ayah sudah mendorong anak untuk lebih serius belajar. Jika perlu bertanya, ada ayah. Agar proses belajar anak menyenangkan, hindari cara memaksa, memarahi atau main pukul.

2. Memberi contoh
Saat menemani anak belajar, sebaiknya ayah membaca buku dan koran. Intinya, menunjukkan bahwa membaca itu merupakan suatu hal yang menyenangkan.

3. Memantau jam belajar
Hal ini dilakukan agar anak tahu bahwa dia punya jam belajar, dan belajar sesuai jam yang ditentukan. Saran Henny, buat kontrak belajar antara ayah dan anak supaya anak lebih serius dalam belajar.

4. Menghibur dan Mendampingi
Seorang ayah memiliki peran yang besar untuk menghibur dan mendampingi si kecil ketika mengalami kegagalan, bukan malah menghukumnya.

5. Memantau kegiatan belajar
Meski sibuk, Henny menyarankan agar sang ayah tetap memantau kegiatan belajar anak. Caranya, dengan pesan singkat atau telepon. Lontarkan pertanyaan, “Ada tugas apa hari ini? Kamu kerjain dulu PR-nya, nanti Papa yang periksa.”

6. Tidak menuntut banyak
Kalau memang si kecil tidak seminat dengan ayahnya, jangan dipaksa untuk satu minat. “Tugas orangtua cuma memfasilitasi dengan les sesuai minat anak.”

7. Antar jemput
Sebelum bekerja, ayah bisa meluangkan waktu mengantar anak ke sekolah. Dalam perjalanan, ajak anak untuk cerita bagaimana kejadian di sekolah. Kalau ada waktu, jemput anak pulang.

HINDARI MAIN PUKUL
Dalam proses belajar, Henny berpesan, jangan jadikan memukul sebagai senjata utama dalam mendidik anak. “Gunakan kalau sudah pamungkas. Selebihnya, lakukan upaya mengubah perilaku anak menjadi lebih baik karena kesadaran bukan karena ketakutan.”

JIKA BUNDA JADI SINGLE PARENT

Bagi orang Indonesia, banyak ayah pengganti seperti paman dan kakek. Orangtua tunggal tak perlu khawatir anaknya tak berkembang secara normal. Carilah tokoh pengganti yang bisa dicontoh anak, baik di lingkungan keluarga, sosial maupun agama. Triwik Kurniasari

(Sumber: Tabloid Nova)


Ayah, Penentu Kualitas Anak

Ayah merupakan model bagi anak-anaknya. Meniru perilaku baik ayah, itu yang dimaui. Namun, hati-hati si kecil bisa pula meng- copy perilaku sebaliknya.

Tak sedikit ayah menyadari apa yang mereka lakukan tidak ingin ditiru anak. Para ayah juga tidak yakin apa yang seharusnya mereka lakukan. Misalnya saja, sepanjang hari Minggu ayah hanya bermain games di komputer , bermalas-malasan dan tak peduli kran kamar mandi bocor.

Sikap ayah, direkam anak

Ayah tahu ini tidak baik dan, tentu saja, ayah tak ingin anak-anaknya kelak juga berperilaku demikian. Tetapi, apa tidak boleh bermalas-malasan di hari Minggu

Apa pun jenis kelamin anak, ayah merupakan model. Sikap ayah terhadap rumah, keluarga dan orang lain, terekam dengan baik dalam memori anak.

Dibanding anak perempuan, anak laki-laki lebih senang meng- copy perilaku ayah. Ayah yang bermalas-malasan, memberi jejak pada anak laki-laki untuk juga bersikap demikian. Pada anak perempuan, akan muncul pemahaman negatif tentang laki-laki. Dia akan berkesimpulan, memang begitulah sifat laki-laki!

Mulailah jadi ayah oke

Menjadi ayah merupakan proses panjang, yang diawali sejak masa kanak-kanak. Ayah yang santun, yang menghargai istri dan anak-anak, yang peduli urusan rumah, yang sadar perilakunya menjadi teladan bagi anak, tidak terbentuk begitu saja ketika ia sudah jadi ayah. Benih perilaku ini sudah ada dalam dirinya sejak kecil.

Tapi, bukan berarti, tak ada harapan bagi para ayah yang ingin menjadi ayah yang lebih baik. Ada cara yang bisa Anda jalankan. Syaratnya, Anda tulus melakukannya.

* Perlakukan ibunya anak-anak dengan baik.
Menjaga keutuhan perkawinan, mendengarkan pendapat istri dan menanggapi kebutuhannya merupakan manifestasi dari perlakuan baik terhadap ibunya anak-anak. Anak mengamati, dan kemudian membentuk perilaku dan pola pikir tentang menghargai pasangan.

* Peka kondisi rumah.
Perhatikan hal-hal kecil di rumah. Misalnya, jangan cuek bila lampu taman dalam beberapa hari ini kedip-kedip. Tak perlu menunggu sampai istri dan anak-anak mengingatkan, “Yah…, lampu taman perlu diganti, tuh. Udah dua hari kedip-kedip.” Eh… sudah diingatkan masih juga Anda cuek . Jelek sekali ayah yang demikian!

* Luangkan waktu bersama anak.
Cara ayah menggunakan waktu luangnya memberi pemahaman pada anak tentang hal penting dalam hidup ayah. Bila ayah menggunakan waktu luangnya bersama anak, si kecil paham ia penting dalam kehidupan ayah. Bila ayah asyik bermain sendiri, anak menafsirkan, ayah mementingkan dirinya sendiri.

* Bicara pada anak.
Biasanya ayah hanya mau bicara pada anak bila anak melakukan kesalahan. Mulailah ngobrol dengan anak sejak masih kecil. Dengarkan ide serta masalahnya.

* Jadilah guru bagi anak.
Ajarkan anak-anak hal baik dan buruk. Dengan demikian, mereka akan membuat keputusan yang baik untuk dirinya.

* Disiplinkan anak dengan cinta.
Anak butuh bimbingan dan teladan, bukan ‘cuma’ hukuman. Tunjukkan tentang dampaknya bila anak tidak disiplin, tetapi tidak dengan menghukumnya.

* Sediakan waktu untuk makan bersama .
Makan malam bersama, misalnya, dapat Anda jadikan kesempatan untuk mendengarkan hal-hal yang dilakukan anak sepanjang hari.

* Tunjukkan perasaan pada anak.
Anak-anak butuh rasa aman dengan cara mengetahui bahwa mereka dibutuhkan dan dicintai ayahnya. Mereka juga butuh dipeluk ayah. Tunjukkan perasaan Anda agar anak-anak yakin Anda mencintainya.

(Immanuella F. Rachmani/ Ayah Bunda


Si Kecil Takut pada Ayahnya

Tak perlu khawatir, asalkan kedua orang tua tetap kompak dalam menerapkan nilai-nilai dan disiplin pada anak.

“Walau saya sudah ngomel-ngomel untuk melarangnya, dia tetap saja melakukannya, seolah tak memperhatikan dan tak dengar. Lain hal kalau ayahnya yang melarang, baru, deh, didengar. Bahkan sampai menangis segala,” ungkap seorang ibu perihal putrinya yang berusia 2 tahun dan tak pernah “takut” padanya.

Pengalaman ini rasanya tak asing bagi kaum ibu yang punya anak batita, bukan? Walau kita marah habis-habisan, tapi, kok, anak adem-ayem saja alias tak ada takutnya. Lain hal jika sama ayahnya, baru diperingati sedikit saja atau baru sekali saja diperingati, anak bisa langsung diam, kadang menekukkan wajahnya karena takut.

Memang, menurut Dra. Risa Kolopaking dari Fakultas Psikologi UI, umumnya anak takut pada ayah. “Seharusnya, sih, anak tidak takut pada kedua orang tuanya, ataupun pada salah satu orang tuanya, karena takut ini menyeramkan buat anak.” Selain itu, jika anak takut pada salah satu orang tua, maka akibatnya anak pun hanya bisa dekat pada salah satu orang tua saja, entah ayah atau ibunya saja.

Anak juga tak mendapat kesempatan yang sama atau seimbang untuk belajar dari jenis kelamin yang berbeda. “Memang anak juga bisa belajar peran dari orang di luar rumah, tapi alangkah baiknya kalau kesempatan itu datangnya dari dalam rumah, yaitu dari orang tuanya sendiri.” Karena bagaimanapun, bila orang tua punya peran yang seimbang, anak akan lebih banyak belajar dalam kehidupannya. Anak dapat mengembangkan kemampuan sosialisasi yang baik dalam kehidupan bermasyarakatnya kelak, misalnya dalam hubungan sosial dengan lawan jenis.

POLA ASUH ORANG TUA
Anak yang takut pada orang tua, terang Risa, adakalanya dalam situasi tertentu saja, misal kalau orang tuanya marah. “Tapi kalau dalam kondisi biasa saja, rata-rata anak tidak takut.” Takutnya bisa karena suara si orang tua yang sedang marah memang keras, pun kala melarangnya, “Awas, tidak boleh!” Sebab, suara keras akan membuat anak kaget, ciut perasaannya, dan akhirnya takut, meski mungkin saja sebenarnya dia pun tak terpikir akan diapa-apakan.

Maka itu, kalau orang tua hendak melarang sesuatu pada anak, saran Risa, tak perlu dengan suara keras dan marah-marah. “Bisa gunakan dengan kelembutan dan dengan tetap memberinya penjelasan, ‘Jangan main air, ya, De. Kamu, kan, sudah mandi, nanti bajunya basah lagi’, misal.”

Selain itu, takutnya anak pada salah satu orang tua juga bisa karena pola pengasuhan dari orang tua itu sendiri. Bisa saja orang tuanya bersikap otoriter dalam menerapkan aturan dan disiplin, sehingga anak takut pada keduanya atau pada salah satunya. “Umumnya, anak takut pada tipe orang tua yang bersikap otoriter. Orang tua bersikap sangat berkuasa, kehendaknya harus dituruti tanpa memahami keinginan dan kebutuhan si anak, hal ini kadang membuat ciut anak.”

Sebetulnya, papar Risa, orang tua tak perlu bersikap otoriter dalam hal menerapkan disiplin atau aturan. Tapi sebaiknya lebih pada pendekatan terhadap si anak. “Sebab, setiap anak berbeda, sehingga menghadapinya juga harus berbeda pula. Ada yang harus dihadapi dengan lembut dan ada yang harus dengan sedikit keras. Tapi pada intinya, anak itu kalau sudah diberi penjelasan, mana yang boleh dan tidak, dan diberitahu alasannya, mereka pun akan belajar sesuatu dan mengerti, kok.”

Memang, kadang ada anak yang mengerti seketika itu juga akan apa yang kita harapkan untuk dikerjakan, tapi ada pula yang mengerti dan hanya sekadar masuk telinganya dan jadi pengetahuannya saja, tapi tidak dia lakukan saat itu. “Jadi, kalau dikatakan tak boleh, dia tetap saja melakukan hal itu.

Sebenarnya, untuk masalah kontrol ini, papar Risa, bisa kita berlakukan reward dan punishment. “Bila anak melakukan seperti yang kita harapkan, kita beri dia hadiah berupa pujian atau dukungan.” Sebaliknya, bila ia tak melakukan apa yang kita harapkan, terapkan punishment. Hanya saja, jangan berupa hukuman fisik, tapi lebih ke arah mengurangi kesenangannya.

PERAN JENIS KELAMIN ORANG TUA
Peran jenis kelamin orang tua juga sangat berpengaruh pada rasa takut anak. Ayah umumnya bersikap tegas dibanding ibu yang biasanya bisa lebih longgar. Walaupun mungkin ibu lebih banyak melarang dibanding ayah, misal dalam hal disiplin, tapi kalau ayahnya yang melarang sesuatu, alasannya selalu tepat dan jelas, sehingga anak tahu kalau yang dia perbuat itu salah. Dengan demikian, begitu ayahnya memberitahunya, melarangnya, hal itu masuk ke dalam hatinya. Ia jadi takut kalau salah.

Kalau pada ibu, karena anak merasa dekat, maka ia pun bisa lebih bernegosiasi. Harus diingat pula bahwa pada tahap-tahap tertentu, kedekatan anak terhadap ibu masih sangat besar, walau peran ayah juga penting, tapi mungkin tidak utama. Jadi, kalau dimarahi atau dinasehati ibu, dia pun seolah tidak mendengar. Bahkan bisa jadi dia malah mengatakan, “Sebentar lagi, ya, Bunda,” atau kalimat merayu lainnya. “Itu, kan, pertanda ia melakukan bargaining.” Juga, anak berani untuk mengungkapkan sesuatu. “Sebenarnya ibu pun bisa menggunakan ini sebagai senjata untuk membuka komunikasi dengan anak, misal, ‘Iya, boleh, tapi sebentar saja, ya, main airnya. Ibu beri waktu 5 menit lagi.'”

Hubungan antara orang tua dan anak pun ada pengaruhnya pada rasa takut anak. Misal, pada anak perempuan, ada sisi-sisi tertentu dari ayah yang bisa membuatnya merasa nyaman dan senang. Mungkin dalam hal bermain. Kadang ibu banyak urusan rumah tangga sehingga kesempatan bermain dengan anak lebih sedikit, sementara ayah mungkin urusan rumahnya tidak sebanyak ibu sehingga kesempatan bermain bersama anak lebih banyak. Ada hal-hal yang menyenangkan bagi anak dari ayahnya. “Bisa saja anak takut salah atau takut tidak disayang oleh ayahnya lagi ketika si ayah yang disenanginya itu melarangnya.”

Bukan itu saja, terang Risa, setiap orang tua pun berbeda-beda. Ada orang tua yang tak senang dengan anak kecil, tak sabaran dan merasa kesal kalau anaknya bermain dan menumpahkan sesuatu, tapi ada juga yang sebaliknya, penuh kesabaran. “Nah, sifat-sifat orang tua juga berpengaruh pada anak.” Jadi, kalau ayahnya melarang, dia akan mendengar karena ayahnya selalu sabar menjelaskannya. “Jangan main air dulu, ya, tapi makan dulu. Biar kamu tak kedinginan dan sakit perut,” misalnya. Sehingga anak paham betul bahwa main air tak boleh karena apa. Lain hal dengan ibunya yang tak sabaran, belum apa-apa sudah teriak-teriak, tanpa menjelaskan penyebab tak bolehnya, juga tidak memahami maksud si anak, sehingga anak pun menentang duluan. Dia akan berpikir, “Pasti, nih, apa yang aku buat selalu tidak boleh, dilarang terus.” Sehingga larangan atau omelan si ibu pun akhirnya hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan.

Sebenarnya, papar Risa, ada baiknya juga ayahlah yang ditakuti anak. Justru harus hati-hati bila yang ditakuti adalah ibunya. “Karena kalau ia takut pada ibu, maka ada kemungkinan ia tak dekat dengan ibunya. Padahal seharusnya anak pada masa batita itu lebih dekat dengan orang tua perempuan. Masa-masa batita dan balita, sebenarnya peran ibu masih lebih kuat dan dibutuhkan. Kalau sampai ibunya ditakuti, biasanya akan ada kehilangan sesuatu dalam perkembangan kejiwaannya.”

AYAH DAN IBU HARUS KOMPAK
Yang jelas, jika salah satu orang tua merasa kesulitan karena anaknya tak bisa diberitahu, misalnya, saran Risa, orang tua perlu introspeksi diri apa yang menyebabkan si anak hanya takut pada salah satu orang tuanya saja.

Sebaiknya pula, kedua orang tua jangan saling membandingkan. “Memang terkadang ada kebanggaan tersendiri pada diri orang tua, misal ayahnya, kalau anak lebih mendengar dirinya. Nah, hal seperti itu sebaiknya jangan diperlihatkan di depan anak. Biarkan anak tahu bahwa antara ayah dan ibu setara. Mereka punya kesamaan hal untuk melarangnya.” Walaupun demikian, pesan Risa, orang tua juga jangan asal melarang anak. Melainkan harus menjelaskan, apa, sih, yang menyebabkannya tidak boleh? Jadi, pelarangan itu ada keterangannya sehingga si anak pun paham.

Jika si ibu membuat keputusan, sebaiknya ayah membantu si ibu. Ketika si ibu melarang sesuatu atau marah pada anak, “Kamu tak boleh itu!”, maka ayah pun harus mendukung si ibu, “Sudahlah, De, kan kata Ibu juga tidak boleh.” Jadi anak pun tahu kalau baik ayah maupun ibunya tak suka.

Boleh juga daripada capek-capek, lalu si ibu menyerahkan pada ayahnya, misal, “Nih, Yah, anaknya susah diberitahu.” Hal ini boleh-boleh saja selama ayah dan ibu kompak dalam menerapkan suatu disiplin. Jadi, ibu ada komunikasi dengan ayah untuk mendisiplinkan si anak. Hanya saja, sambungnya, seringkali yang terjadi ayah dan ibu tak kompakan.

Padahal dengan kompak, maka ada peran yang seimbang antara kedua orang tua, sehingga anak pun bisa belajar untuk kehidupannya. “Kalau anak cukup mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, lingkungannya juga baik dan benar secara seimbang, maka anak pun bisa belajar dari situ.”

Selain itu, dalam hal disiplin pun anak jadi tak bingung, nilai mana yang mau dipilih, karena si orang tua kompak. “Kalau anak bingung, akibatnya anak-anak seperti ini bisa jadi tidak percaya diri atau tak acuh sama sekali atau tak bisa disiplin.” Bahkan bisa jadi, salah satu orang tua bisa diremehkan. “Anak jadi tahu cara tricky untuk mencari situasi yang menyenangkannya. Misal, dilarang ayahnya, dia pun lari ke ibunya. Jadi dia tidak belajar suatu nilai yang seharusnya dia pelajari, tapi hanya mencari amannya saja.”

Dedeh Kurniasih


Sikap Ayah Pengaruhi Perkembangan EQ Bayi

Sikap ayah dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan ternyata bisa mempengaruhi EQ bayi. Jika si Ayah suka nempilkan wajal sebal, si bayi konon mengamati dan ikut-ikutan menampilkan wajah sebal juga. Jika si Ayah suka cemburu, eh si bayi juga konon begitu juga.

Usia 0 – 3 Bulan

Hubungan emosional bayi dengan ibunya sudah ada sejak dalam kandungan, demikian kata sebagian pakar. Bayi bisa tahu bila ibunya dalam keadaan stres atau tenang. Jika ibu stres, biasanya bayi ikut rewel, cengeng, dsb.). Jika ibunya tenang, bayi pun tenang. Jika saat ini ibu stres akibat kecemburuan ayah terhadap bayi (yang ditunjukkan lewat perbuatan atau kata-kata yang negatif), otomatis, bayi pun bisa merasakannya dan ikut-ikutan stres.

Sebagian pakar lain mengatakan bahwa hubungan bayi dengan orangtuanya mulai terjalin saat ayah ibunya memberinya minum, menggendong, mendekap, dan menenteramkannya. Kualitas hubungan bayi dengan ayah ibunya di masa ini akan mempengaruhi proses perkembangan keterampilan sosialnya nanti. Jika kecemburuan ayah sampai memperburuk kualitas hubungannya dengan bayi, dikhawatirkan buruk pula proses perkembangan keterampilan sosial si kecil nantinya.

Saat berusia 3 bulan, bayi mulai berminat berinteraksi sosial lewat tatap muka, terutama wajah kedua orangtuanya. Ia akan belajar banyak hal lewat pengamatan dan peniruan bagaimana ‘membaca’ dan mengungkap emosi. Inilah tahap untuk secara aktif mulai melatih emosi bayi. Apa jadinya bila ayah sering menampilkan wajah sebal atau malah membuang muka setiap kali bayi menatapnya? Maka bayi akan mengamatinya, membacanya, dan ikut-ikutan sering menampilkan wajah sebal.

Usia 6 – 8 Bulan

Di usia ini bayi mulai menemukan cara baru untuk mengungkapkan perasaan hatinya, semisal sedih, gembira, takut, marah, dsb. kepada sekelilingnya. Jika sebelumnya ia hanya mampu memikirkan benda atau manusia yang ditatapnya saat itu, sekarang ia sudah bisa memindahkan perhatiannya sambil tetap mengingat objek/manusia tanpa harus menatapnya lagi. Kalau ia senang dengan bola merahnya, ia akan memandang orang tuanya atau orang lain sambil menyampaikan rasa senangnya (lewat senyum, ocehan, atau gelak tawa). Inilah dasar kemampuan untuk bermain dan berinteraksi secara emosional nantinya. Jika bayi lebih banyak merasa sedih/takut pada ayahnya yang galak atau ketus dibakar cemburu, ia akan selalu menatap sekelilingnya dengan ekspresi begitu pula. Mengenaskan, ya!

Usia 9 – 12 Bulan

Di rentang usia ini, bayi mulai memahami bahwa manusia dapat membagi gagasan dan emosi mereka satu sama lain. Bila ayah atau ibu bertanya kepada bayi, “Dedek lagi kesal, ya?”, bayi dapat memahami bahwa orangtuanya ternyata bisa membaca atau mengetahui suasana hatinya. Dengan kata lain bayi mulai memahami bahwa dengan menunjukkan ekspresi tertentu, ia atau orang lain dapat berbagi emosi.

Jika ayah yang cemburu kepada bayi selalu menunjukkan ekspresi negatif (acuh tak acuh, sebal, kesal, dsb.), bayi pun mengetahui suasana hati ayahnya sedang tak bersahabat. Dan jika bayi selalu menjumpai ayahnya dalam keadaan seperti ini, ia pun cenderung menghindar dari sang ayah. Dengan begini, bayi akan kekurangan kasih sayang ayah. Padahal, menurut Robin Skynner, pendiri dan pengajar pada Institute of Family Therapy, Inggris, kehadiran seorang ayah yang penuh kasih sayang di samping bayi kelak akan membantu si bayi menghadapi berbagai masalah dan kelompok yang lebih dari dua orang. Un/dari berbagai sumber/FAD


Ayah dan Gadis Kecilnya

Apa yang seorang ayah lakukan dengan si putri akan berdampak jauh pada masa depannya. Sikap ayah terhadap anak perempuan juga sangat berbeda dibandingkan anak pria.

Ayah membedakan sikapnya terhadap bayi berdasar jenis kelamin, jauh sebelum buah hatinya itu lahir. Ayah bersikap lebih halus dan lemah lembut terhadap bayi perempuan dibanding pada bayi laki-lakinya. Bila ditelusuri lebih jauh, sikap ini berkait erat dengan harapan orang tua dan pola pikir masyarakat yang sangat mengakar.

Memperkuat peran jenis kelamin

Perbedaan sikap yang ditunjukkan ayah tidak hanya ketika anak masih bayi. Ayah juga memilih cara permainan yang berbeda sesuai jenis kelamin si kecil. Para ayah lebih senang mengajak anak perempuannya berbicara, dibanding mengajaknya bermain. Para ayah juga cenderung memilihkan mainan yang sesuai jenis kelamin anak.

Tanpa disadari para ayah, sikap tersebut mengarahkan dan menanamkan sikap feminin dalam diri anak perempuan mereka. Ini dinyatakan oleh Michael E. Lamb , dalam bukunya The Role of The Father in Child Development. Ia mengungkapkan, hubungan antara ayah dan anak perempuannya akan mempengaruhi kualitas feminin si gadis kecil.

Dengan meniru ibu dan mengamati reaksi ayah, seorang anak perempuan mengembangkan intuisi dan sikapnya dalam berhubungan dengan lawan jenis. Dengan cara ini pula si gadis kecil, kelak, akan mengasah kemampuannya untuk berhubungan dengan lawan jenis. Karenanya, ayah harus tetap menjaga sikap terhadap ibu di depan si kecil.

Lamb meyakini adanya hubungan sebab-akibat antara pengalaman seorang anak perempuan bersama ayahnya dengan kemampuan anak tersebut menjalin kasih sayang dengan orang lain di kemudian hari. Kenangan hubungan anak perempuan dengan ayahnya membuat ia lebih objektif menilai teman prianya. Hal ini juga membekalinya dengan kemampuan menjalin hubungan kasih yang lebih sehat kelak.

Feminin juga maskulin

Di mata seorang anak perempuan, ayah biasanya menawarkan dunia yang lebih luas dan menantang untuk dihadapi. Dari sang ayah, anak perempuan mempelajari otoritas, power , persaingan dalam bekerja, cara mengungkapkan kemarahan, cara mengelola uang, mengambil risiko dan mengembangkan citra diri. Bahkan, si anak perempuan itu tetap membutuhkan saran dari ayahnya mengenai karier, investasi, keuangan dan sebagainya, sampai ia dewasa. Setelah dewasa pun ternyata si anak perempuan ini tidak dapat melepaskan begitu saja bayang-bayang manis hubungannya dengan sang ayah tercinta.

Melihat kenyataan ini, para ayah sebaiknya introspeksi. Hindari tabiat buruk di depan si putri. You need to be a better man .

Jika Ayah Tak Ada

Dalam beberapa penelitian tercatat beberapa akibat tidak berperannya sosok ayah dalam kehidupan anak perempuannya. Si anak perempuan itu akan:

– Sulit menampilkan sifat-sifat feminin ketika tumbuh menjadi wanita dewasa.
– Selalu haus figur laki-laki. Namun, ia mudah kecewa jika laki-laki yang hadir dalam hidupnya tidak sesuai dengan gambaran laki-laki yang hadir dalam alam khayalnya.
– Sulit menjalankan peran sesuai jenis kelaminnya.
– Mudah merasa cemas bila berada diantara laki-laki

Leave a comment »